Rabu, 16 April 2008

Respon Pasar Tembakau Rendah Nikotin

Respon Pasar Tembakau Rendah Nikotin ( Studi Kasus Tembakau Madura )


Pendahuluan

Tembakau dan industri hasil tembakau mempunyai peran penting dalam perekonomian nasional, karena mampu menyediakan lapangan kerja secara langsung maupun tidak langsung bagi 6,4 juta orang, meliputi 2,3 juta petani tembakau, 1,9 juta petani cengkeh,199.000 pekerja pabrik rokok, sekitar 1,15 juta pedagang eceran dan asongan, 900.000 orang yang bekerja pada sektor lembaga keuangan, percetakan dan transportasi (Rachman, 2003).

Produksi rokok nasional rata-rata 215.671 juta batang (2000-2004), sejumlah 187.331 juta batang (87%) adalah rokok kretek yang 85% bahan baku tembakaunya dari dalam negeri. Penerimaan negara dari cukai selalu naik dari tahun ke tahun; pada tahun 2004 sebesar Rp. 28,6 triliun, tahun 2005 Rp. 33,2 triliun dan 2006 ditargetkan sebesar Rp. 38,5 triliun. Penerimaan devisa negara dari ekspor rokok dan tembakau (terutama cerutu) dari tahun 2000-2004 rata-rata sebesar US$ 209,38 juta (Direktorat Cukai, 2005).

Luas areal tembakau di Indonesia rata-rata 198.590 ha dengan produksi 155.441 ton per tahun (Ditjenbun, 2005). Di daerah pengembangannya, tembakau memberikan sumbangan 60-80% dari total pendapatan petani, sehingga merupakan komoditas unggulan. Di beberapa daerah tembakau merupakan penggerak roda perekonomian. Sebagai contoh di Madura, uang kartal yang disediakan oleh Bank Indonesia pada musim panen tembakau di Pamekasan dan Sumenep meningkat menjadi Rp. 750 juta sampai Rp, 1 triliun per bulan, sedangkan pada bulan-bulan biasa hanya Rp. 100 juta (Kompas, 2003).

Hal-hal tersebut di atas merupakan faktor yang menyebabkan agroindustri tembakau mempunyai basis yang kuat. Usaha untuk mengurangi areal tembakau sulit dilakukan karena tembakau memberikan keuntungan bagi petani. Penggantian tembakau dengan tanaman alternatif seperti bawang merah, semangka dan melon pada awalnya memberikan hasil yang baik, tetapi pada saat komoditas tersebut makin berkembang pasar menjadi kendalanya, sehingga petani cenderung bertahan untuk menanam tembakau.

Pada saat ini tantangan yang dihadapi oleh agroindustri tembakau adalah kampanye anti rokok yang dipelopori WHO (World Health Organization) sejak tahun 1974. Di Indonesia gerakan anti rokok baru dimulai tahun 1991 dengan adanya peringatan pemerintah bahwa merokok dapat merugikan kesehatan. Selanjutnya terbit Undang-Undang nomor 23 tahun 1992, yang pada pasal 44 berbunyi: “Diperlukan peraturan pemerintah tentang pengamanan rokok bagi kesehatan”. Peraturan pemerintah ini baru terbit pada tahun 1999, yaitu PP.81/1999 kemudian diperbarui dengan PP.38/2000 yang antara lain menetapkan pembatasan kadar nikotin dan tar (dalam asap) maksimum 1,5 mg dan 20 mg per batang rokok. Peraturan pemerintah ini berdampak cukup besar, antara lain penurunan produksi rokok kretek dan jatuhnya harga tembakau rakyat (lokal) pada tahun 2000 sampai 2003. Akhirnya peraturan ini diperbarui menjadi PP.19/2003 yang menghapus ketetapan batas maksimum nikotin dan tar tiap batang rokok; namun tetap mewajibkan pencantuman kadar nikotin dan tar serta peringatan bahaya rokok bagi kesehatan pada setiap bungkus rokok. Selain itu Departemen Pertanian diwajibkan mencari tembakau dengan resiko kesehatan seminimal mungkin, serta mencari komoditas alternatifnya. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah berupaya menurunkan kadar nikotin tembakau bahan baku rokok kretek.
Permasalahan dan Teknologi Tembakau Rendah Nikotin


Permasalahan :

Nikotin (β-pyridil-α-N-methyl pyrrolidine) merupakan senyawa organik spesifik yang terkandung dalam daun tembakau. Apabila dihisap senyawa ini akan menimbulkan rangsangan psikologis bagi perokok dan membuatnya menjadi ketagihan. Selama ini yang terjadi adalah tembakau mutu tinggi pada umumnya mengandung nikotin dan senyawa aromatisnya tinggi, terutama tembakau lokal. Sebagai contoh pada tembakau temanggung, semakin ke atas posisi daun pada batang maka kadar nikotin dan senyawa aromatisnya semakin tinggi, demikian pula mutu dan harganya juga semakin tinggi. Kadar nikotin, mutu dan harga tembakau temanggung dan madura yang ditanam di lahan tegal lebih tinggi dari pada yang dfitanam di lahan sawah. Pada tembakau virginia, krosok bermutu tinggi yang berperan sebagai pemberi rasa ternyata juga berkadar nikotin tinggi. Oleh karena itu budidaya dan penelitian pada masa lalu selalu ditujukan untuk memproduksi tembakau dengan kadar nikotin dan senyawa aromatis yang tinggi.

Menurut Legg dan Collins (1971) dan Schumacher (1989), kadar nikotin dikendalikan oleh dua gen utama dan sejumlah gen minor. Tanaman tembakau dengan gen AABB berkadar nikotin tinggi dan tanaman tembakau dengan gen aabb berkadar nikotin rendah. Dengan demikian persilangan antara varietas berkadar nikotin tinggi dengan varietas berkadar nikotin rendah akan menghasilkan individu-individu beragam yang berkadar nikotin rendah sampai tinggi. Menurut Leffingwell (1999), kadar nikotin tembakau dapat berkisar antara 0,5 sampai 8%. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kadar nikotin antara lain tipe tanah, ketinggian tempat, kerapatan populasi tanaman, dosis pupuk dan jenis lahan. Tembakau yang ditanam pada tanah berat berkadar nikotin lebih rendah dibanding yang ditanam di tanah lempung. Kadar nikotin tembakau cenderung meningkat bila ditanam di daerah yang lebih tinggi. Semakin banyak populasi tanaman per hektar kadar nikotin semakin rendah, dan semakin tinggi dosis pemupukan nitrogen kadar nikotin semakin tinggi. Kadar nikotin tembakau yang ditanam di lahan sawah lebih rendah dibanding di lahan tegal (Suwarso et.al., 1992; Murdiyati et.al., 1999; Rachman, 2003).

Dari keterangan di atas, maka dimungkinkan untuk menurunkan kadar nikotin tembakau dengan merubah genetik maupun lingkungan tumbuh. Menurut Abdallah (1970), penurunan kadar nikotin dapat dilakukan sampai batas yang sesuai dengan kebutuhan industri rokok. Hal ini disebabkan kadar nikotin berkorelasi positif dengan senyawa-senyawa lain yang berpengaruh terhadap mutu baik maupun dengan mutu organoleptik seperti rasa dan aroma. Oleh karena itu bagi pabrik rokok, upaya untuk menurunkan kadar nikotin lebih mudah dilakukan secara pabrikasi dibandingkan dengan mengganti jenis tembakau dalam racikan rokok. Salah satu contoh adalah tembakau Lumajang VO yang berkadar nikotin rendah (0,3 – 1,2 %). Tembakau yang di produksi di Lumajang (Jawa Timur) ini hanya sesuai untuk keperluan tembakau pipa dan tidak sesuai untuk rokok kretek. Cara pabrikasi untuk menurunkan kadar nikotin rokok (cigarrete design) antara lain dengan menggunakan filter untuk mengurangi kadar tar dan nikotin dalam asap yang dihisap perokok; atau menggunakan kertas sigaret yang pori-porinya lebih banyak, sehingga ada pengenceran kadar nikotin dan tar dalam asap karena udara yang terhisap lebih banyak.

Teknologi yang sudah diperoleh :

Upaya Balittas untuk menurunkan kadar nikotin tembakau lokal dimulai pada tahun 1994. Tembakau madura varietas Prancak 95 disilangkan dengan beberapa varietas tembakau oriental yang berkadar nikotin <>
Tabel 1. Potensi hasil rajangan kering, mutu dan kadar nikotin varietas Prancak N-1 ,              Prancak N-2, dan Prancak 95 Varietas Potensi hasil rajangan kering.

                     (ton/ha)  Indeks    Indeks         Kadar
                                  mutu       tanaman      nikotin ( % )

Prancak N-1    0,9       62,45        60,07          1,76
Prancak N-2    0,8       68,52        56,07          2,00
Prancak 95     0,8       57,12        45,22          2.31

Sumber : Suwarso et.al., 2004



Tabel 2. Keragaan usahatani petani kooperator dan petani non kooperator.

No.    Uraian                                          Petani               Petani
                                                             kooperator        Non-kooperator

1 Produktivitas rata-rata (kg/ha)               624                     687
2 Kadar nikotin rata-rata ( % )                  2,41                    3,26
3 Mutu (Indeks mutu)                              57 - 76                56 – 60
4 Harga (Rp/kg)                                      16.000-21.400      15.800–17.000
5 Penerimaan petani rata-rata (Rp/ha)      11.082.240           11.144.514
6 Biaya usahatani rata-rata (Rp/ha)          9.100.000             10.805.000
7 Pendapatan petani rata-rata (Rp/kg)      1.982,240             339.514



Respon pasar (pengguna) terhadap varietas rendah nikotin

Tahun 2004 :
  • Sebagian besar petani kooperator yang menanam tembakau varietas Prancak N-1 dan Prancak N-2 seluas 50 ha dapat menerima varietas baru.
Tahun 2005 :
  • Selain petani kooperator seluas 50 ha, ada petani di sekitarnya yang menanam varietas baru seluas 30 ha.
  • Selain itu PT.Gudang Garam unit Pakong dan PT. Langgeng Setia Bhakti (pemasok PT.H.M. Sampoerna) membagikan bibit dari varietas baru untuk ditanam seluas 44 ha.
  • Iklim tahun 2005 kurang mendukung karena saat panen masih banyak hujan, akan tetapi ada petani kooperator yang menanam Prancak N-1 dan Prancak N-2 memperoleh harga tembakau Rp. 24.000,- - Rp. 25.000,- per kg.
  • Salah satu petani kooperator (H.Zaini) yang menanam Prancak N-1. Pada waktu prosesing dilakukan penghilangan ibu tulang daunnya dan dirajang halus. Hasil rajangan keringnya memperoleh harga Rp. 100.000,- per kg karena mutunya sangat bagus. Selain pegangannya lembut dan aromanya sangat harum.
  • Lima ketua kelompok petani kooperator membuat benih varietas baru dari tanamannya dengan bimbingan teknisi dari Balittas untuk ditanam pada tahun 2006. Mereka adalah (1) M.Djais (Kelompok Tani Subur Tani) varietas Prancak N-1; (2) Moch. Matsuri (Kelompok Tani Sama Rukun) varietas Prancak N-1 dan Prancak N-2; (3) Achmad Zhaeni, DH (Kelompok Tani Raya Makmur) varietas Prancak N-1 dan Prancak N-2; (4) Saprawi (Kelompok tani Tani Mulya) varietas Prancak N-1; dan (5) Anas (Kelompok Tani Al-Mustaqbal) varietas Prancak N-1. Beberapa petani di sekitarnya sudah memesan benih tersebut.
  • Dinas Kehutanan dan Perkebunan Pamekasan membuat pembenihan varietas Prancak N-1 sebanyak 150 kg.
    ;
Tahun 2006 (Sahid et.al., 2006)
  • Untuk tahun 2006, benih varietas baru yang tersedia dari Dishutbun Pamekasan sebanyak 150 kg. PT. Langgeng Setia Bhakti membeli dari Balittas sebanyak 3 kg.
  • Sudah terjadi difusi teknologi. Petani kooperator yang pada tahun 2005 membuat benih dari tanamannya dengan bimbingan teknisi Balittas juga menyebarkan benihnya kepada anggota kelompok tani dan petani disekitarnya untuk membuat pembibitan sendiri. Demikian juga bibit yang dihasilkan disamping ditanam sendiri ada juga yang dijual ke petani lain bahkan ke kecamatan lain.
  • Perkembangan areal kedua varietas ini pada tahun 2006 di Sumenep 350 ha, Pamekasan 2.750 ha dan Sampang 100 ha.
  • Harga yang diperoleh beberapa petani kooperator pada tahun 2006 mencapai Rp 28.000,- per kg (mutu istimewa).
  • Petani di Kecamatan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep lebih memilih Prancak N-1, karena produktivitasnya lebih tinggi dibanding Prancak N-2.
  • Menurut PT. Langgeng Setia Bhakti dan PT. Gudang Garam (Gudang Perwakilan Sumenep) varietas Prancak N-1 rasanya terlalu ringan, sedang Prancak N-2 lebih berat dari Prancak N-1, tetapi lebih ringan dari Prancak 95. Menurut PT. H.M. Sampoerna varietas Prancak N-2 lebih diminati.
  • Pada tahun 2006 ketua kelompok petani membuat benih sebar lagi dari tanamannya seperti tahun 2005. Salah satunya adalah M. Djais, yang tanamannya menggunakan benih dasar dari Balittas. Benih yang dihasilkan untuk pertanaman tahun 2007.
  • Implikasi Kebijakan

Selera konsumen sangat berpengaruh terhadap produksi maupun pasar suatu merek rokok, sehingga konsistensi rasa dan aroma rokok sangat penting. Oleh karena itu pabrik rokok sangat berhati-hati dalam memilih jenis tembakau untuk racikan rokoknya, termasuk dalam mengganti varietas. Respon pabrik rokok terhadap isu bahaya rokok terhadap kesehatan sebetulnya sudah dimulai dengan cara memproduksi rokok menggunakan filter; untuk rokok putih dimulai tahun enampuluhan, sedang rokok kretek pada awal tahun tujuhpuluhan. Pada saat ini semua produksi rokok putih menggunakan filter, sedang produksi rokok kretek yang berfilter mencapai 71%. Pabrik rokok kretek berusaha menggiring konsumennya ke arah rokok yang lebih ringan. Hal ini kelihatannya berhasil, sehingga pada saat ini tembakau “hitam” yang kadar nikotinnya relatif tinggi permintaannya menurun, sedang tembakau “kuning” yang nikotinnya relatif lebih rendah permintaannya meningkat. Sebagai contoh tembakau temanggung yang kadar nikotinnya relatif paling tinggi di antara tembakau lokal, arealnya tetap dan harganya cenderung menurun, sebaliknya tembakau madura yang kadar nikotinnya medium areal dan harganya terus meningkat. Pada saat ini areal tembakau madura mencapai + 70.000 ha/tahun, dan merupakan jenis tembakau yang ditanam terluas di Indonesia.

Kebijakan penelitian tembakau masih diteruskan untuk menurunkan kadar nikotin jenis tembakau selain madura; untuk tahun 2005-2009 diutamakan untuk tembakau temanggung. Dalam upaya penurunan kadar nikotin ini dilakukan persilangan-persilangan antara tembakau temanggung dengan jenis-jenis tembakau yang kadar nikotinnya rendah. Seleksi terhadap galur-galur yang diperoleh melibatkan petani untuk menentukan fenotipe (morfologi) yang sesuai dengan tembakau temanggung; dan melibatkan pabrik rokok sebagai konsumen untuk menentukan mutu yang sesuai.


Penutup

Penurunan kadar nikotin tembakau bahan baku rokok dapat dilaksanakan sampai taraf tertentu yang masih dapat diterima oleh pabrik rokok. Diharapkan usaha penurunan kadar nikotin ini tidak menurunkan karakter mutu yang lain yang berpengaruh terhadap rasa dan aroma asap rokok, bahkan karakter lain seperti aroma dan kehalusan pegangan perlu ditingkatkan.

Sumber:
Balittas, Malang

http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/?p=opini.11

Pabrik Cerutu Indonesia

PD Taru Martani 1918
Pabrik Cerutu Tertua yang Mulai Menggeliat

Pengantar Redaksi
Pabrik cerutu PD Taru Martani yang kini berusia 84 tahun (1918-2002) memiliki sejarah penting bagi industri rokok di dalam negeri. Perusahaan rokok cerutu peninggalan Belanda yang berlokasi di Yogyakarta ini sempat menikmati masa kejayaan dan juga cukup lama kembang kempis dalam perjalanannya. Namun, di tengah berbagai badai yang menimpa, PD Taru Martani tetap berdiri, bahkan ada tanda-tanda mulai bangkit. Untuk itu, Sinar Harapan menuliskan lika-liku pabrik cerutu tertua tersebut dalam dua tulisan.

’YOGYAKARTA – Taru berarti daun, sementara Martani berarti kehidupan. Jadi, Taru Martani adalah daun yang memberi kehidupan. Itulah nama yang diberikan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX untuk pabrik cerutu yang berlokasi di Baciro, Yogyakarta. Nama itu tak sia-sia. Meski tak luput dilanda krisis yang menerpa Indonesia dan pernah pula menghentikan ekspor ke mancanegara, dan yang hebat lagi dengan masih memakai alat-alat kuno peninggalan Belanda, toh pabrik cerutu ini masih eksis hingga kini dengan mempekerjakan sekitar 356 karyawan
Didirikan tahun 1918 dengan nama Firma (Fa) Negresco dengan 25 pekerja, pada awalnya produksi cerutu Taru Martani hanya untuk konsumsi orang-orang Belanda di Yogya -- yang tetap ingin menikmati cerutu – setelah bertahun-tahun kekurangan akibat Perang Dunia I. Namun dalam perkembangannya, cerutu ini juga dijual ke daerah Hindia Belanda dan ketika itu mendapat sambutan yang cukup baik.
Dan di tahun 1930, Fa Negresco melakukan ekspansi dengan menambah pekerja menjadi 1.000 orang yang sebagian besar untuk membuat cerutu buatan tangan. Tak lama kemudian, Jepang masuk Indonesia, dan ini menimbulkan perubahan besar. Nama Negresco berubah menjadi Jawa Tobacco Kojo. Pabrik inipun dilengkapi pula dengan mesin pembuat rokok sigaret hasil sitaan dari British American Tobacco (BAT) yang terletak 200 mil barat laut kota Cirebon.
Bermodalkan mesin hasil sitaan ini, dan melibatkan 2000 pekerja, pabrik ini membuat cerutu Momo Taro dan dua merek sigaret yakni Mizuo dan Koa. Kesemua ini untuk konsumsi Angkatan Bersenjata Kekaisaran Jepang.

Ambil Alih
Setelah PD II berakhir, HB IX mengambil inisiatif untuk mengambil alih dan mengganti nama perusahaan ini menjadi Taru Martani. Namun pada tahun 1949, Belanda kembali menguasai Yogya, dan pabrik pun jatuh ke tangan Negresco, pemilik lama. Meski begitu, pabrik tak bisa beroperasi karena terjadi kekacauan politik. Dan pada tahun 1951, BAT memboyong kembali mesin-mesinnya ke Cirebon. Akibatnya, pabrik di Yogya dibiarkan kosong begitu saja.
Selang setahun kemudian, pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Bank Indonesia membeli perusahaan ini dan namanya kembali menjadi PT Taru Martani. Ada tiga merek cerutu yang diproduksi, yakni Mundi Victor, Senator dan Elomercio. Sementara untuk kertas sigaret adalah Chaveaux Blancs. Dan pada tahun 1957, menambah lagi produknya berupa tembakau shag dan dua merek rokok kretek, yakni Roro Mendut dan Roro Jonggrang.
Nama PT Taru Martani kembali berubah menjadi Perusahaan Negara Perindustrian Rakyat Budjana Jasa. Ini terjadi ketika pemerintah menetapkan policy untuk merasionalisasi semua perusahaan Belanda. Dan ketika ada pergantian rezim Soekarno ke rezim Soeharto, perusahaan ini mengalami kembang kempis dan hanya bisa mempekerjakan sekitar 100 orang.
Tahun 1972, HB IX -- kala itu menjabat wakil presiden -- kembali mengambil peranan. Perusahaan ini lagi-lagi menjadi milik pemerintah DIY. Nama pun berubah lagi menjadi PT Taru Martani Baru. ”Kala itu Sri Sultan berpendapat cerutu ekspor haruslah menjadi usaha utama dari perusahaan ini, sebab akan lebih banyak menyerap tenaga kerja daripada jika membuat jenis produk tembakau lainnya,” ungkap Direktur Utama Perusahaan Daerah Taru Martani Bimo N Wartono.
Tak lama kemudian, masuklah perusahaan tembakau Belanda, Douwe Egberts dengan menyertakan modal, tenaga ahli serta akses ke pasaran ekspor. Dalam era ini, selain meneruskan pembuatan Mundi Victor dan Senator, juga menambah lagi tiga merek, yakni Adipati, Ramayana dan Panter. Dan antara tahun 1973–1978, perusahaan ini juga mulai memproduksi kertas sigaret Chaveaux Blancs dan Counryman. Juga memperkenalkan empat merek tembakau, yakni Van Nelle, Countryman, White Ox dan Prahu. Van Nelle adalah merek lisensi perusahaan Belanda yang namanya Douwe Egberts Van Nelle Tabak MV.
”Semua produk tembakau shag difokuskan untuk pasaran dalam negeri,” kata Bimo.
Ada perubahan besar di era tahun 1980-an. Para konsumen mulai menyukai cerutu kecil yang rasanya lebih ringan. Dan, menurut Johanes, Corporate Communications PD Taru Martani, perusahaan menanggapi permintaan ini dengan memproduksi cerutu jenis Cigarillos dengan merk Borobudur. Tak hanya itu, Taru Martani juga mulai membuat Amphora, tembakau pipa pada tahun 1984.
Masa kejayaan PT Taru Martani Baru kembali merosot, seiring dengan Douwe Egberts menarik diri. Dan ini jelas mengganggu kelancaran finansial dan kegiatan ekspor. ”Bahkan waktu itu boleh dikatakan kami hanya memproduksi tembakau shag saja, karena produksi cerutu dalam jumlah kecil saja hanya untuk kebutuhan pasar lokal yang juga masih sangat kecil. Tapi syukur tak ada PHK. Yang ada hanya peremajaan seiring banyak karyawan yang sudah masa pensiun,” tutur Jan, panggilan akrab Johanes.
Mundurnya Douwe Egberts ini menyebabkan status Taru Martani berubah dari PT menjadi PD hingga kini. Sejalan dengan penerapan UU Otonomi Daerah, dalam proyeksi ke depan PD Taru Martani direncanakan untuk privatisasi menjadi PT.
Dan dalam upaya membangun image, Taru Martani ingin menonjolkan unsur ketuaan, yakni dengan menggunakan ”TARU MARTANI 1918.” ”Ini bagian dari strategi kami yang menggunakan ikatan emosional dengan Belanda. Kita tahu, di Belanda itu kebutuhan cerutu mencapai 100 juta batang pertahun,” ungkap Bimo.
Di era kepemimpinan Bimo yang saat ini tergolong masih muda – umur 40 tahun, PD Taru Martani berniat bisa bangkit mencapai kejayaan seperti masa lalu. Bila pada tahun 2001 omsetnya mencapai Rp 13 miliar, dan tahun 2002 ini mencapai Rp 15 miliar, tahun 2003 omset direncanakan bisa mencapai Rp. 20 miliar (sebanyak 70% dihasilkan dari ekspor dan 30% lagi dari pasar dalam negeri).
Adapun cerutu yang dihasilkan Taru Martani saat ini, yang diekspor, dalam berbagai jenis dan merek. yang dikelompokkan dalam cerutu natural taste, flavor taste dan mild taste. Merek-merek seperti : Island Collection, Celestino Vega, Key West dan sebagainya cukup dikenal di pasar Amerika. Sedangkan untuk yang pasar domestik, di antaranya Adipati, Ramayana, Panter, Senator, Mundi Victor, dan Borobudur. Untuk tembakau shag yang merupakan konsumsi dalam negeri meliputi Van Nelle, Countryman dan Drum.

Kanibal
Untuk mendapat omset yang lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya, menurut Bimo, pihaknya tak akan meningkatkan jumlah produksinya, namun lebih menekankan pada mutu. Apalagi bila dilihat dari mesin yang digunakan, merupakan peninggalan Belanda sejak tahun 1952. Walaupun mesin tua dan telah kanibal pula, namun dari 6 mesin itu bisa dihasilkan (dalam kapasitas terpasang) 20 juta batang cerutu/tahun.
”Namun kami tidak akan memforsir, tapi hanya 75 persen saja dari kapasitas mesin. Hal itu sesuai dengan umur mesin. Mesin itu sejak tahun 52. Ini suatu prestasi yang bisa dibanggakan,” kata Bimo.
Guna menjaga kelangsungan produktivitas dari mesin-mesin tua tersebut, terutama pengadaan suku cadang, pihak Taru Martani di samping telah bekerja sama dengan dengan ATMI Solo, juga akan merintis kerja sama dengan Sekolah Teknik Menengah yang ada di Yogyakarta. ”Kami tengah memikirkan perintisan untuk pengadaan suku cadang mesin ini,” ungkap Bimo. (SH/yuyuk sugarman/su herdjoko)

Copyright © Sinar Harapan 2002