Rabu, 16 April 2008

Pabrik Cerutu Indonesia

PD Taru Martani 1918
Pabrik Cerutu Tertua yang Mulai Menggeliat

Pengantar Redaksi
Pabrik cerutu PD Taru Martani yang kini berusia 84 tahun (1918-2002) memiliki sejarah penting bagi industri rokok di dalam negeri. Perusahaan rokok cerutu peninggalan Belanda yang berlokasi di Yogyakarta ini sempat menikmati masa kejayaan dan juga cukup lama kembang kempis dalam perjalanannya. Namun, di tengah berbagai badai yang menimpa, PD Taru Martani tetap berdiri, bahkan ada tanda-tanda mulai bangkit. Untuk itu, Sinar Harapan menuliskan lika-liku pabrik cerutu tertua tersebut dalam dua tulisan.

’YOGYAKARTA – Taru berarti daun, sementara Martani berarti kehidupan. Jadi, Taru Martani adalah daun yang memberi kehidupan. Itulah nama yang diberikan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX untuk pabrik cerutu yang berlokasi di Baciro, Yogyakarta. Nama itu tak sia-sia. Meski tak luput dilanda krisis yang menerpa Indonesia dan pernah pula menghentikan ekspor ke mancanegara, dan yang hebat lagi dengan masih memakai alat-alat kuno peninggalan Belanda, toh pabrik cerutu ini masih eksis hingga kini dengan mempekerjakan sekitar 356 karyawan
Didirikan tahun 1918 dengan nama Firma (Fa) Negresco dengan 25 pekerja, pada awalnya produksi cerutu Taru Martani hanya untuk konsumsi orang-orang Belanda di Yogya -- yang tetap ingin menikmati cerutu – setelah bertahun-tahun kekurangan akibat Perang Dunia I. Namun dalam perkembangannya, cerutu ini juga dijual ke daerah Hindia Belanda dan ketika itu mendapat sambutan yang cukup baik.
Dan di tahun 1930, Fa Negresco melakukan ekspansi dengan menambah pekerja menjadi 1.000 orang yang sebagian besar untuk membuat cerutu buatan tangan. Tak lama kemudian, Jepang masuk Indonesia, dan ini menimbulkan perubahan besar. Nama Negresco berubah menjadi Jawa Tobacco Kojo. Pabrik inipun dilengkapi pula dengan mesin pembuat rokok sigaret hasil sitaan dari British American Tobacco (BAT) yang terletak 200 mil barat laut kota Cirebon.
Bermodalkan mesin hasil sitaan ini, dan melibatkan 2000 pekerja, pabrik ini membuat cerutu Momo Taro dan dua merek sigaret yakni Mizuo dan Koa. Kesemua ini untuk konsumsi Angkatan Bersenjata Kekaisaran Jepang.

Ambil Alih
Setelah PD II berakhir, HB IX mengambil inisiatif untuk mengambil alih dan mengganti nama perusahaan ini menjadi Taru Martani. Namun pada tahun 1949, Belanda kembali menguasai Yogya, dan pabrik pun jatuh ke tangan Negresco, pemilik lama. Meski begitu, pabrik tak bisa beroperasi karena terjadi kekacauan politik. Dan pada tahun 1951, BAT memboyong kembali mesin-mesinnya ke Cirebon. Akibatnya, pabrik di Yogya dibiarkan kosong begitu saja.
Selang setahun kemudian, pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Bank Indonesia membeli perusahaan ini dan namanya kembali menjadi PT Taru Martani. Ada tiga merek cerutu yang diproduksi, yakni Mundi Victor, Senator dan Elomercio. Sementara untuk kertas sigaret adalah Chaveaux Blancs. Dan pada tahun 1957, menambah lagi produknya berupa tembakau shag dan dua merek rokok kretek, yakni Roro Mendut dan Roro Jonggrang.
Nama PT Taru Martani kembali berubah menjadi Perusahaan Negara Perindustrian Rakyat Budjana Jasa. Ini terjadi ketika pemerintah menetapkan policy untuk merasionalisasi semua perusahaan Belanda. Dan ketika ada pergantian rezim Soekarno ke rezim Soeharto, perusahaan ini mengalami kembang kempis dan hanya bisa mempekerjakan sekitar 100 orang.
Tahun 1972, HB IX -- kala itu menjabat wakil presiden -- kembali mengambil peranan. Perusahaan ini lagi-lagi menjadi milik pemerintah DIY. Nama pun berubah lagi menjadi PT Taru Martani Baru. ”Kala itu Sri Sultan berpendapat cerutu ekspor haruslah menjadi usaha utama dari perusahaan ini, sebab akan lebih banyak menyerap tenaga kerja daripada jika membuat jenis produk tembakau lainnya,” ungkap Direktur Utama Perusahaan Daerah Taru Martani Bimo N Wartono.
Tak lama kemudian, masuklah perusahaan tembakau Belanda, Douwe Egberts dengan menyertakan modal, tenaga ahli serta akses ke pasaran ekspor. Dalam era ini, selain meneruskan pembuatan Mundi Victor dan Senator, juga menambah lagi tiga merek, yakni Adipati, Ramayana dan Panter. Dan antara tahun 1973–1978, perusahaan ini juga mulai memproduksi kertas sigaret Chaveaux Blancs dan Counryman. Juga memperkenalkan empat merek tembakau, yakni Van Nelle, Countryman, White Ox dan Prahu. Van Nelle adalah merek lisensi perusahaan Belanda yang namanya Douwe Egberts Van Nelle Tabak MV.
”Semua produk tembakau shag difokuskan untuk pasaran dalam negeri,” kata Bimo.
Ada perubahan besar di era tahun 1980-an. Para konsumen mulai menyukai cerutu kecil yang rasanya lebih ringan. Dan, menurut Johanes, Corporate Communications PD Taru Martani, perusahaan menanggapi permintaan ini dengan memproduksi cerutu jenis Cigarillos dengan merk Borobudur. Tak hanya itu, Taru Martani juga mulai membuat Amphora, tembakau pipa pada tahun 1984.
Masa kejayaan PT Taru Martani Baru kembali merosot, seiring dengan Douwe Egberts menarik diri. Dan ini jelas mengganggu kelancaran finansial dan kegiatan ekspor. ”Bahkan waktu itu boleh dikatakan kami hanya memproduksi tembakau shag saja, karena produksi cerutu dalam jumlah kecil saja hanya untuk kebutuhan pasar lokal yang juga masih sangat kecil. Tapi syukur tak ada PHK. Yang ada hanya peremajaan seiring banyak karyawan yang sudah masa pensiun,” tutur Jan, panggilan akrab Johanes.
Mundurnya Douwe Egberts ini menyebabkan status Taru Martani berubah dari PT menjadi PD hingga kini. Sejalan dengan penerapan UU Otonomi Daerah, dalam proyeksi ke depan PD Taru Martani direncanakan untuk privatisasi menjadi PT.
Dan dalam upaya membangun image, Taru Martani ingin menonjolkan unsur ketuaan, yakni dengan menggunakan ”TARU MARTANI 1918.” ”Ini bagian dari strategi kami yang menggunakan ikatan emosional dengan Belanda. Kita tahu, di Belanda itu kebutuhan cerutu mencapai 100 juta batang pertahun,” ungkap Bimo.
Di era kepemimpinan Bimo yang saat ini tergolong masih muda – umur 40 tahun, PD Taru Martani berniat bisa bangkit mencapai kejayaan seperti masa lalu. Bila pada tahun 2001 omsetnya mencapai Rp 13 miliar, dan tahun 2002 ini mencapai Rp 15 miliar, tahun 2003 omset direncanakan bisa mencapai Rp. 20 miliar (sebanyak 70% dihasilkan dari ekspor dan 30% lagi dari pasar dalam negeri).
Adapun cerutu yang dihasilkan Taru Martani saat ini, yang diekspor, dalam berbagai jenis dan merek. yang dikelompokkan dalam cerutu natural taste, flavor taste dan mild taste. Merek-merek seperti : Island Collection, Celestino Vega, Key West dan sebagainya cukup dikenal di pasar Amerika. Sedangkan untuk yang pasar domestik, di antaranya Adipati, Ramayana, Panter, Senator, Mundi Victor, dan Borobudur. Untuk tembakau shag yang merupakan konsumsi dalam negeri meliputi Van Nelle, Countryman dan Drum.

Kanibal
Untuk mendapat omset yang lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya, menurut Bimo, pihaknya tak akan meningkatkan jumlah produksinya, namun lebih menekankan pada mutu. Apalagi bila dilihat dari mesin yang digunakan, merupakan peninggalan Belanda sejak tahun 1952. Walaupun mesin tua dan telah kanibal pula, namun dari 6 mesin itu bisa dihasilkan (dalam kapasitas terpasang) 20 juta batang cerutu/tahun.
”Namun kami tidak akan memforsir, tapi hanya 75 persen saja dari kapasitas mesin. Hal itu sesuai dengan umur mesin. Mesin itu sejak tahun 52. Ini suatu prestasi yang bisa dibanggakan,” kata Bimo.
Guna menjaga kelangsungan produktivitas dari mesin-mesin tua tersebut, terutama pengadaan suku cadang, pihak Taru Martani di samping telah bekerja sama dengan dengan ATMI Solo, juga akan merintis kerja sama dengan Sekolah Teknik Menengah yang ada di Yogyakarta. ”Kami tengah memikirkan perintisan untuk pengadaan suku cadang mesin ini,” ungkap Bimo. (SH/yuyuk sugarman/su herdjoko)

Copyright © Sinar Harapan 2002

Tidak ada komentar: